Waktu untuk Olahraga

Tahun 2022 adalah tahun yang baik buat saya di dunia olahraga. Di tengah tahun 2022, saya memutuskan untuk bergabung di satu klub renang. Komitmen awal saya adalah berenang seminggu sekali. Dana saya berusaha keras untuk memenuhi komitmen saya ini.

Seingat saya, saya 4 kali absen: Dua kali saat sedang bepergian dan dua kali lainnya saat harus isolasi.

Di akhir bulan, akhirnya saya berkesempatan mengikuti lomba renang di Stadion Akuatik, GBK. It feels like one of my dream comes true.

Hahaha… ya enggak segitunya juga sih sebenarnya. Singkat cerita, saya senang, bangga dan puas: kesampaian juga ikut lomba renang di GBK.

Saya turun di dua nomor: bebas 50 meter dan kupu-kupu 50 meter. Saya dapat medali perunggu di kedua nomor ini. Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang telah mendaftarkan saya les renang saat saya kecil, kepada para pelatih renang saat saya kecil dulu: Om Kusdi dan Om Elly, kepada istri saya dengan segala dukungannya: termasuk saat harus menyetir mobil di hari balapan, dan kedua anak-anak saya saat saya harus rutin latihan renang.

Di 2023, saya terancam tidak bisa rutin renang. Haduh…

Waktu Tempuh Transjakarta

Hari Sabtu kemarin saya ke PIK Avenue menggunakan transportasi publik. Selain malas menyetir kendaraan pribadi, saya memang lebih menikmati transportasi publik.

Dari Stasiun MRT Bundaran HI, kami pindah ke halte Transjakarta. Sayangnya, setelah halte Transjakarta Bundaran HI direnovasi, justru tidak bisa dinaiki langsung dari Stasiun MRT Bundaran HI. Jadi kami harus keluar stasiun MRT dulu dan menyeberang pelican crossing untuk ke halte Transjakarta.

Halte Transjakarta Bundaran HI baru terkesan megah dan mewah. Sebagai penumpang, yang saya butuhkan adalah informasi posisi bis dan berapa lama saya perlu menunggu di halte.

Bis koridor 1 datang. Tidak sampai Kota hanya sampai Harmoni. Saya turun di Harmoni. Sudah ada sign system, ternyata saya salah menunggu bis 1A. Tak sampai 10 menit, bis 1A datang. Kekhawatiran saya tak jadi terjadi.

Lalu saya cek peta. Ternyata waktu tempuh dari Harmoni ke PIK Avenue bisa mencapai 1 jam. Wadow. Lama juga ya.

Dari kenyamanan sih tidak ada masalah. Bis baru, AC dingin, penumpang tak terlalu penuh. Yang masalah tinggal waktu tempuh saja.

Bis 1A berhenti di pinggir jalan. Waktu scan KUE harusnya bisa dipercepat dengan menambah mesin pembaca di bagian tengah bis. Jadi saat penumpang banyak yang mau turun, bisa lebih cepat.

Blog dan Tren Sesaat

Jadi benar ya, apa yang diramalkan oleh pakar telematika kita dulu? Kalau blog hanyalah tren sesaat.

Baiklah, blog memang hanya tren sesaat, namun saya lihat interaksi di dunia maya masih intens dengan tulisan. Entah caption di instagram, atau “seolah-olah” blog post yang orang buat di instagram reels. Atau diskusi rakyat jelata di twitter.

Meminjam kasta-kasta di Internet. Kasta tertinggi adalah youtuber yang paling bermodal: edit video, tempat yang menarik, dan berbagai properti pendukung. Kasta kedua adalah selebgram: seperti youtuber minus sunting video. Dan yang terakhir adalah twitter yang tinggal bermodal jempol untuk menggerakkan jari-jemari.

Pendek kata, menulis masih proses yang penting dalam keseharian. Saya setiap hari masih berusaha menulis, merencanakan pekerjaan yang akan saya selesaikan hari ini, sekaligus membuat refleksi tentang apa yang telah saya lakukan.

Apa yang tertulis takkan lekang oleh waktu. Scripta manent!

Ke Perpustakaan Jakarta

Akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun, Jakarta memiliki perpustakaan yang keren dan modern!

Sebelumnya, di kota Jakarta berdiri perpustakaan baru: Perpustakaan Nasional, atau lebih dikenal dengan perpusnas. Saya sudah beberapa kali ke sini. Cukup ramai juga kok. Gedungnya megah, tinggi dan besar. Bersih. Ada parkiran. Aksesnya mudah karena lokasinya strategis.

Yang saya tidak suka dari perpusnas adalah harus naik lift jika ingin pergi ke ruang buku/ruang baca/meja. Di gedung sebesar ini, ada 4 buah lift yang harus melayani semua pengunjung dari lantai basement hingga 20-an.

Asa ribeut, jika saya ingin ke lantai buku anak-anak. Saya harus menunggu lift kosong. Lalu kalau saya mau turun ke kantin. Lalu kalau saya mau ke lantai dasar lagi.

Perpustakaan Jakarta hadir, dan membuat saya bangga. Terlepas dari kontroversi pembangunan renovasi TIM, saya salut dengan desain perpustakaan ini. Keren, modern, dan anak muda sekali! Tidak ada lagi kesan perpustakaan sebagai tempat yang membosankan.

Saya jadi ingat perpustakaan-perpustakaan di Melbourne, dulu. Mulai dari City Library (dari yang dekat Stasiun Flinders, yang di Docklands, sampai satu lagi ada yang baru di dekat Unimelb), hingga perpustakaan dekat rumah di Clayton.

Perpustakaan seolah menjadi rumah kedua bagi saya….

Dan benar, karena di musim panas kami lari dari gelombang panas dengan pergi ke perpustakaan karena di rumah tidak ada pendingin udara yang mumpuni :))

Scale Up

Menjadi besar itu tidak mudah. Apalagi dalam dunia engineering.

Membangun rumah tentu tidak sama dengan membangun gedung. Membangun 100 rumah, ya pekerjaan bisa ditinggal dikali 100. Satu rumah butuh luas 100 m2, seratus rumah berarti 10,000 m2. Bagaimana dengan membangun gedung 30 lantai?

Permasalahan dengan skala besar ini tidak selalu mudah untuk dipecahkan.

Kalau kita ke transportasi publik, tentu Transjakarta dengan bis yang banyak sekalipun tak akan bisa melayani penumpang yang terlalu banyak. Jika bis ada banyak, maka waktu yang dibutuhkan untuk naik/turun di halte akan lebih lama. Antrean untuk menaikkan/menurunkan penumpang ini bisa memakan 10 menit jika ada 10 bis yang antre.

Berbeda dengan Ratangga yang memang didesain untuk melayani penumpang dengan jumlah banyak. Bisa aja sih, halte Transjakarta didesain dengan panjang mengikut desain stasiun Ratangga, tapi nanti penumpang yang mau naik jadi bingung gak ya?

Dalam dunia perangkat lunak juga sama. Mendesain aplikasi untuk diakses 10-100 orang tentu akan sangat berbeda dengan aplikasi yang diakses hingga jutaan orang. Kapan harus menerapkan komunikasi synchronous/asynchronus. Kapan harus menerapkan atomic transaction: transaksi gagal atau berhasil sama sekali. Belum lagi jika ada race condition. Belum lagi memperhatikan aspek UI/UX dengan semakin banyak persona.

Namun masa depan, akan semakin banyak orang yang tinggal di kota besar. Dan ini berarti masalah yang kita hadapi akan semakin besar.

Tidak Mau Menambah Pekerjaan

Kalau sudah terlalu banyak kegiatan, rasa-rasanya saya tidak mau menambah pekerjaan yang perlu saya lakukan. Inginnya diam saja, tarik nafas, mendengarkan lagu, istirahat, jalan kaki, atau tidur.

Benar lhoh, terlalu sibuk itu tidak baik. Hidup di dunia kan hanya sesaat. Jadi tak semua hal di dunia harus dikejar hari ini. Hidup perlu seimbang.

Tidur perlu yang cukup.

Nah, berapa jam rata-rata kamu tidur dalam sehari?

Bangun Pukul 3 Pagi

Hari ini saya bangun pukul 3 pagi. Wow. Saya tidak tidur lagi. Biasanya saya lebih sering bangun pukul 5 pagi. Lanjut aktivitas harian pagi: tulis gak ya? 😀

Sebelum matahari terbit saya sempatkan melihat satu video dari Shihab dan Shihab. Topik kali ini adalah menendang sesajen. Menyimak Quraish Shihab selalu memberikan kedamaian bagi hati saya. Sejenak saya pause video ini, sambil mencoba menyerap memahami maksud Quraish Shihab.

Di kredit video Narasi, saya membaca nama Zen RS yang menyandang predikat Pemimpin Redaksi. Saya tak pernah bertemu langsung dengan Zen RS. Hanya di dunia maya. Sekali saya membaca tulisannya di National Geographic Indonesia.

Saat saya sedang menyapu halaman pagi ini, saya melihat sesosok makhluk hitam kecil terkulai lemas di antara dedaunan kering. “Walah apa ini?”, dalam hati saya. Ternyata…. ia adalah seekor tikus ukuran sedang yang terkulai lemas karena kakinya tampak terluka. Ia tidak lagi segesit tikus seperti biasanya.

“Haduh harus diapakan nih?”, sebenarnya saya juga malas mengurusi pertikusan seperti ini. Namun siapa lagi yang akan membereskan. “Apa itu Pak Zaki?”, tanya tetangga saya yang sedang mengajak anjingnya jalan pagi. “Hii… saya takut”, ujarnya.

OK, sekarang saatnya bekerja. Mari mulai bekerja di pagi hari.

Foto Lampau

Beberapa hari yang lalu, saya mencoba mengakses kembali harddisk portable yang saya miliki. Yang pertama ternyata tidak bisa saya akses! Encrypted disk. Begitu pesan kesalahannya.

Lalu, dalam hati saya berujar, “Ya sudah lah. Kenangan masa lalu”.

Tahun baru 2022 datang. Entah mengapa, saya merasa harapan tahun baru kali ini lebih tinggi. Padahal sebenarnya saya termasuk yang biasa-biasa saja setiap pergantian tahun. Atau malah saya termasuk yang pesimis ya :)) Eh dalam artian pesimis bukan optimis. Cuma biasa aja. Toh waktu itu kan buatan manusia yang digunakan sebagai tanda saja.

Saya coba harddisk portable saya yang kedua. Dan ternyata bisa! Saya bisa kembali mengakses foto-foto saya yang dulu saya ambil via HP di tahun 2014 hingga 2019, rasanya.

Setelah saya bisa akses pun, saya tak terlalu bersemangat juga mencari-cari atau melihat-lihat foto yang ada. Apa ini efek samping dari terlalu mudahnya mengambil foto ya? Di zaman serba cepat, kita jadi justru kehilangan makna dan momen. Terlalu sibuk mengambil foto dan hidup di metaverse: baca upload foto/story/post dan berharap instant feedback dari netizen.

Refleksi Satu Tahun Punya Biola

Tak terasa, sudah hampir satu tahun saya punya biola. Saya garis bawahi ya, punya biola. Ternyata saya jarang sekali latihan :/

Biola lebih susah dipelajari karena bunyinya tidak bisa selalu bulat. Tergantung kemampuan kita menggesek senarnya. Sebenarnya, semakin sering latihan, harusnya semakin bagus. Telinga akan semakin hafal bagaimana bunyi yang bagus.

Saya baru bisa satu lagu dengan biola: Twinkle-twinkle little star. Sekali/dua kali saya pernah rekaman dengan istri saya yang mengiringi dengan piano.

Selain biola, saya juga sedang belajar piano. Ini akan saya ceritakan di tulisan terpisah deh.

Akhir kata: saya senang punya biola. Biola adalah salah satu instrumen musik yang saya suka. Saya ingin bisa, ya tapi ingin saja ternyata tidak cukup. Saya harus meluangkan waktu untuk belajar dan berlatih.

Kalau diingat-ingat, sebenarnya sudah bunyi saja sudah bagus sih. Saya masih ingat di hari pertama biola datang, bahkan bunyi saja tidak :))

Ya, semoga di tahun berikutnya, ada kesempatan untuk belajar dan berlatih biola lagi.

Sumpah Pemuda dan Bahasa Indonesia

Di hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu, harian KOMPAS menulis judul dengan beragam bahasa daerah. Wow! Kaya sekali bahasa Indonesia ini.

Salah satu poin dalam Sumpah Pemuda adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Persatuan. Lalu saat menemani anak saya mengerjakan tugas, ada pertanyaan: “Hal apa yang bisa kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari dari Sumpah Pemuda?”, begitu kurang lebih pertanyaannya.

Anak saya bingung. Minta dibantu. Saya jawab saja: “Menggunakan Bahasa Indonesia saat chat dengan teman”. Kontan dia bingung dan tidak mau menulis. Lha gimana, wong kalau chatting selalu menggunakan bahasa Inggris.

Hadeuh. Permasalahan anak generasi Z ya ini. Sekarang generasi Z kan ya?