Saat di Perjalanan

Apa yang kamu lakukan saat menempuh perjalanan? Bagi yang membawa kendaraan pribadi sendiri, ya lupakan. Kamu harus menyetir dan menembus kemacetan.

Silakan lanjutkan membaca bagi yang naik kendaraan umum. Dulu-dulu saya baca di koran, ada orang yang bisa menamatkan serial drama korea saat di perjalanan. Ya, rumahnya di Bogor dan naik KRL. Naik KRL sekarang bisa kurang-lebih 2 jam untuk perjalanan Jakarta – Bogor untuk sekali jalan. Pulang pergi bisa 4 jam, plus waktu dari/ke stasiun.

Kemarin saya ke Jakarta (ihik) tentu dengan angkutan umum. Baterai ponsel saya cepat habis karena saya klak-klik terus. Saya lupa tidak membawa buku. Tapi lama kelamaan bosan juga menelusuri media sosial.

Kesehatan Mental

Beberapa hari yang lalu, saya mampir ke Gramedia Blok M. Gramedia Blok M memiliki tempat tersendiri bagi saya, karena ini merupakan salah satu Gramedia yang sering kami kunjungi saat kami kecil dulu. Usai dari Gramedia, kami lalu suka makan di sekitaran Blok M. Tak jarang juga mampir ke Gado-gado Kertanegara.

Pendek cerita, Gramedia Blok M sekarang jadi kecil sekali dibandingkan zaman dulu. Dulu besar. Buku-buku banyak, alat tulis, komputer, peralatan olahraga, dll. Ada tangga ke atas. Sekarang, kecil. Masih di lokasi yang sama namun hanya tinggal satu pintu masuk. Lebih modern sih, tapi ya itu jadi lebih sempit dan kecil. Rasanya beberapa bagian berubah menjadi Hotel Santika yang masih punya grup KOMPAS.

Saya membeli buku Filosofi Teras karya selebtwit. Setelah membaca buku ini saya jadi memiliki pandangan baru mengenai kesehatan mental. Kesehatan mental adalah sesuatu yang perlu kita jaga sama seperti kesehatan fisik. Satu hal yang jarang kita perhatikan. Eh atau dua-duanya: kesehatan fisik dan mental, adalah dua hal yang jarang kita perhatikan?

OK, kita lebih serius akan penyakit yang kasat mata: koreng, lecet, patah tulang, dst tapi kita tak pernah begitu serius tentang bagaimana perasaan kita, motivasi sehari-hari untuk bangun pagi, atau misalkan kita baru saja ditinggal oleh orang yang begitu kita sayangi.

Saat masih di down under dulu, bahkan ada hari saat kita dianjurkan bertanya, “How are you?” hanya untuk menunjukkan kita perlu perhatian ke orang lain. Saat masih sering datang ke Abbottsford, salah seorang kontributor Django, suka menekankan pentingnya kesehatan mental, bertanya “How are you?” bagi teman-teman programmer.

Di Indonesia saya lihat, begitupun kerasnya hidup, kita masih bisa lebih lepas dibanding orang-orang Barat. Kita masih bisa tertawa lepas saat kondisi-kondisi konyol terjadi.

Kembali ke buku… Hmm… saya tak terlalu puas dengan buku ini. Ini lebih merupakan buku kepingan-kepingan lepas. Alurnya tak terlalu mulus. Apa sebenarnya saya berharap sedang membaca novel juga kali ya?

Kegunaan Multimedia

Blog itu hanyalah tren sesaat. Begitulah ujar RS, sang tokoh telematika.

Saat itu blog begitu populer. Tentu saja blogger langsung menyerang balik pernyataan RS ini. Tapi, siapa sangka, ternyata RS benar juga kan? Rasanya semakin sedikit yang menulis blog.

Instagram telah menjadi wadah sendiri. Bahkan seringkali saya melihat orang menulis begitu banyak tulisan di instagram story-nya. Ini sudah seperti blog saja.

Fitur auto feed, jadi kita tak perlu melanggan, memudahkan orang untuk melihat. Belum lagi fitur bertanya, membuat semakin interaktif. Plus gambar-gambar, efek-efek, sesuatu yang tak bisa dihadirkan di blog statis.

Jadi, apakah saatnya belajar membuat konten multimedia? Menurut saya tak ada salahnya. Dan ternyata, bagi sebagian orang, mereka hanya bisa menikmati konten multimedia.

Bagi mereka yang difabilitas pandangan, mendengarkan tentu jadi alternatif utama. Saya jadi terpikir untuk merekam suara saya saat membaca suatu buku.

Ini sebenarnya merupakan bentuk kegusaran saya terhadap ketidakadaan buku audio berbahasa Indonesia. Padahal, mereka dengan difabilitas pandangan tentu akan sulit membaca buku teks.

Buku dan 2017

Saya bukan termasuk orang yang terlalu muluk-muluk dengan pergantian tahun. Mulai dari resolusi dan perubahan. Ya kalau mau berubah, lakukan saja sekarang. Tak perlu menunggu pergantian tahun.

Tapi bagi sebagian orang, menunggu pergantian tahun bisa menjadi momentum yang membantu untuk membuat perubahan. Ya, oke lah kalau cara itu berjalan.

Ngomong-ngomong resolusi retina display sampai saat ini belum juga tercapai 😀

Rasanya saya jarang membaca buku di tahun 2017 ini. Ada novel Eka Kurniawan yang saya baca namun tak kunjung saya selesaikan. Lalu buku apa lagi ya?

Saya ingin bisa lebih banyak membaca buku.

Membaca Bukan Budaya Asia?

Dalam suatu kesempatan acak, saya melihat salah satu akun twitter yang saya ikuti memfoto tumpukan buku-buku yang baru dibeli. Ia bukan orang Asia.

Hal ini membuat saya berpikir, apakah orang Asia tak memiliki budaya membaca yang kuat?

Di instagram, saya lebih sering melihat orang-orang Asia memfoto makanan, tempat-tempat wisata, atau dirinya sendiri bersama teman-temannya saat berjumpa.

Atau orang Asia lebih suka membaca alam sekitarnya, hehehe… jadi tak terperangkap di dalam buku.

Buku adalah Jendela

“Fisikmu boleh dipingit, tapi tidak dengan pikiranmu. Ini aku berikan kunci”, ujar kakak Kartini.

Alkisah, akhir pekan kemarin saya menonton film Kartini bersama istri. Ini adalah salah satu kutipan bebas saya dalam film ini.

Saat memasuki usia menstruasi, Kartini memulai hidupnya dalam pingitan. Hingga nanti seseorang akan melamarnya. Kartini tidak boleh keluar rumah.

Namun kakaknya, memberikan kunci. Yang ternyata kunci ini merupakan kunci lemari buku. Buku di zaman dulu tentu merupakan barang mewah. Eh, sekarang pun masih juga ya. Dan kemampuan baca-tulis di tahun sebelum 1900-an tentu merupakan keahlian yang tak umum.

Kartini terlahir dari keluarga pejabat daerah. Kartini mampu membaca aksara Belanda, termasuk bisa berbahasa Belanda. Di masa muda-nya Kartini sudah membaca buku-buku Multatuli, Max Havelar dan Karl Marx. Wow, saya saja belum pernah membaca buku-buku tersebut.

Jika Kartini terpenjara dalam pingitan dan buku menjadi jendela-nya untuk merasakan kebebasan, bagaimana dengan kondisi kita sekarang? Terjebak di kota yang padat, kemacetan di mana-mana, apa yang bisa menjadi jendela?

Pergi ke Belanda kah? Kartini ingin pergi, melarikan ke Belanda, namun tak kesampaian. Kalau saya ingin lari ke … Country side of Victoria. Hehehe… becanda.

Yang ingin saya tekankan dalam tulisan saya kali ini adalah, kita perlu selalu mencari “jendela” untuk melihat dunia luar dan lari dari pingitan yang mengurung.

5 Buku Favorit

Apakah 5 buku favorit kamu? Wah, sulit saya menjawabnya. Saya sudah lama tidak membaca buku. Hooo… ada apa dengan dunia ini? Mengapa saya jarang membaca buku.

Kalau ingin tahu apa 5 buku favorit Justin Trudeau, lihat jawaban beliau di quora.

Saat ini saya sedang membaca buku lucu-lucu-an: 78 Storey Tree House karya Andy Griffith dan Terry Denton. Ini merupakan salah satu buku favorit saya. Lucu pisan lah! Kreatif dan konyol. Zaman dulu, saya cukup datang ke perpustakaan dan meminjam semua seri buku ini. Namun sekarang, saya harus membeli buku. Hiiiks…

Orang Asia apa tidak punya kultur membaca yang kuat ya?

Mencari Penulis

Pada salah satu diskusi di media sosial, saya membandingkan kondisi di sini dengan di luar sana. Di sini, toko buku lebih banyak dari perpustakaan. Di sini toko buku lebih mudah dijumpai, lebih besar dan lebih megah. Di bawah sana, satu kotamadya bisa memiliki lebih dari 3 perpustakaan di setiap kecamatan.

Satu pendapat teman saya adalah banyak toko buku tak mengapa karena itu ikut menggerakkan industri perbukuan nasional. Yang sulit lagi adalah mencari penulis.

Nah, mencari pembaca saja sudah sulit apalagi mencari penulis.

Mempertimbangkan Membeli Perangkat Buku Elektronik

Duh, judulnya bahasa Indonesia sekali. Siang tadi, saya mempertimbangkan untuk membeli e-book reader. Dari hasil googling cepat, pilihan berkisar ke Kobo atau Kindle. Lalu saya kembali bertanya ke diri saya sendiri.

Akankah saya lebih rajin membaca buku dengan memiliki e-book reader? Eh atau e-book device lebih tepat. Hmm… dengan kondisi perpustakaan melimpah ruah di mana-mana saja, saya masih kesulitan untuk membaca. Padahal harusnya sudah tidak ada lagi alasan tidak mampu beli buku karena buku sudah melimpah ruah di perpustakaan di semua sudut kota.

Hingga sekarang saya memiliki tiga kartu keanggotaan perpustakaan, namun masih belum juga saya menyempatkan membaca novel fiksi.

Jadi, akhirnya saya putuskan untuk menunda dulu. Yang lebih sulit itu sekarang komitmen waktu untuk baca buku, dan waktu untuk baca buku.

Sebelum mencari e-book device ini, saya berbelanja buku anak-anak untuk Zaidan. Buku-buku favorit yang suka dipinjam di perpustakaan selama ia di sini.

Belajar Kritis Sejak Dini

Salah satu tugas utama Zaidan selama sekolah adalah mengisi log book. Log book mengenai buku yang dibaca. Judul buku apa yang dibaca, kapan dibaca, bagaimana perasaan setelah membaca buku ini (divisualisasikan dengan menggambar muka) dan apa komentar mengenai buku ini.

Bahkan dari umur 5 tahun sudah dibiasakan untuk mengungkapkan gagasan mengenai sesuatu. Berpikir kritis mengenai segala sesuatu.